Terkini

20/trending/recent

X-PLORASI

Masukkan carian anda di sini !

Saat laut menjadi takdir, kisah duka imigran Jawa di bumi Amerika Selatan



Bayangkan, di tanah Jawa akhir abad ke-19. Letusan gunung, hujan abu, sawah yang retak, dan langit muram oleh kemiskinan. Di tengah penderitaan itu, datang khabar tentang negeri jauh bernama Suriname sebuah tanah koloni Belanda di seberang lautan tepatnya di benua Amerika Selatan. Di sana, katanya, ada pekerjaan, ada gaji, dan ada janji boleh pulang setelah lima tahun.

Sebahagian orang percaya, sebahagian ragu. Namun, bagi kebayakkan warga miskin di Klaten, Sukoharjo, dan Karanganyar, janji itu terdengar seperti sinar harapan. Mereka menandatangani kontrak, tak tahu bahawa keputusan itu akan mengubah hidup ribuan orang Jawa untuk selamanya.

Keberangkatan, 21 Mei 1890

Tanggal itu tercatat dalam sejarah sebagai hari bermulanya gelombang pertama pengiriman tenaga kerja kontrak Jawa ke Suriname. Sebanyak 94 orang, terdiri dari 61 pria, 31 wanita, dan 2 anak-anak, diberangkatkan dari Batavia (Jakarta) menaiki kapal SS Koningin Emma.

Mereka melambaikan tangan pada pelabuhan yang perlahan menjauh, menatap pulau kelahiran yang tenggelam di balik kabut laut. Beberapa membawa sejumput tanah Jawa dalam kantong kecil, sebagai penangkal rindu.

Perjalanan panjang itu melewati lautan Hindi, singgah di Belanda, lalu menyeberangi Samudera Atlantik. Selama berbulan-bulan, ombak besar, kelaparan, dan penyakit laut menjadi teman mereka. Akhirnya, pada 9 Ogos 1890, mereka tiba di Paramaribo, Suriname. Hari itu kini diperingati oleh keturunan mereka sebagai "Hari Kedatangan Orang Jawa"

Dunia baru di tanah koloni

Suriname bukanlah negeri yang ramah. Hutan lebat, udara lembab, dan bahasa asing membuat mereka serasa di dunia lain. Sebelum orang Jawa datang, tenaga kerja di Suriname diisi oleh Orang Creole dari Afrika yang dulunya dijadikan hamba sejak abad ke-16, orang Cina sejak tahun 1853 dan orang India sejak 1873.

Setelah perhambaan dihapuskan pada 1 Julai 1863, banyak orang Afrika melarikan diri dari perkebunan. Belanda pun mencari pengganti, dan menemukan orang Jawa: patuh, pekerja keras, dan “murah”.

Kerja dan derita

Para pekerja diikat selama lima tahun. Upah pekerja lelaki hanya 60 sen sehari, perempuan 40 sen, dengan waktu kerja tujuh jam di ladang dan 10 jam di kilang,  enam hari seminggu. Mereka menanam tebu, kopi, dan kako, atau bekerja di lombong bauksit.

Sesuai tamay perjanjian, setelah kontrak habis mereka berhak pulang ke tanah air dengan Dana pemerintah Belanda. Namun, itu hanya janji di atas kertas. Banyak yang tak pernah mendapat tiket pulang. Sebahagian lagi bahkan buta huruf, tak tahu bagaimana menuntut hak.

Di malam hari, setelah kerja keras di bawah terik matahari, mereka duduk di bawah cahaya lampu minyak, meniup seruling bambu, menyanyikan tembang Jawa. Itu cara mereka bertahan dari rindu.

Gelombang kedua dan tragedi di laut

Empat tahun kemudian, 16 Jun 1894, gelombang kedua diberangkat dengan kapal SS Voorwarts. Kali ini jumlahnya 614 orang, jauh melebihi kapasiti kapal. Banyak yang jatuh sakit di tengah lautan.

Ketika kapal tiba di Suriname, 64 orang meninggal dunia, dan 85 lainnya dirawat di rumah sakit Paramaribo. Tragedi itu lenyap begitu sahaja dari catatan rasmi, seolah mereka hanyalah angka yang tak penting.

Setengah abad di tanah jauh (1890–1939)

Meskipun tragedi itu terjadi, penghantaran tenaga kerja terus berlaku. Dari tahun 1890 hingga 1939, seramai 32,986 orang Jawa dihantar ke Suriname menggunakan 77 kapal laut. Mereka datang dari pelbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian kecil Jawa Barat.

Di sana, mereka bekerja keras, menikah, membentuk keluarga, dan perlahan membangun komuniti baru. Anak-anak mereka mulai berbicara dua bahasa, Belanda dan Jawa. Di rumah-rumah kayu di tengah hutan, gamelan tetap berbunyi. Mereka masih menggelar selamatan, wayangan, dan kenduri, meski jauh dari tanah leluhur.

Gerakan "Mulih Jawa"

Ketika berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (17 Ogos 1945) sampai ke Suriname, banyak hati yang bergetar. “Negaraku sudah merdeka,”  “Kita harus pulang.”

Tahun 1947, gelombang besar penghantaran pulang dimulai. Sekitar 1700 orang Jawa di Suriname kembali ke Indonesia. Gelombang kedua menyusul pada 1954, dipimpin oleh tokoh keturunan Jawa seperti Kolonel Laut (Purn) Sarmoedjie, yang lahir di Distrik Nickerie, daerah penghasil padi terbesar di Suriname.

Bagi mereka, pulang bukan sekadar perjalanan, ianya adalah pulang hati, kembali ke tanah yang hanya hidup dalam mimpi. Namun saat kapal berlabuh di Tanjung Priok, banyak yang menangis “Ini bukan Jawa yang kukenal dulu. Semuanya sudah berubah.”

Sebagian memilih tetap di Suriname, kerana di sanalah rumah dan keluarga mereka kini berada. Sebahagian lagi menetap di Indonesia, menanamkan kembali akar yang pernah tercabut.

Jejak yang tak pernah pudar

Hari ini, keturunan Jawa di Suriname masih berjumlah puluhan ribu. Mereka berbahasa Jawa, menari gamelan, menggelar wayang kulit, dan tetap mengucap salam dalam bahasa ibu. Mereka menyebut diri Javanen Suriname, orang Jawa di tanah jauh.

Di ibu kota Paramaribo, berdiri Monumen Seratus Tahun Kedatangan Orang Jawa (1890–1990). Setiap tanggal 9 Ogos, mereka menabur bunga dan membacakan doa dalam bahasa Jawa halus, mengenang perjalanan leluhur yang menembus lautan, meninggalkan tanah air demi harapan.


Sumber:
Kolonel Laut (Purn) Sarmoedjie, Mengintip Sejarah dan Perjuangan Mantan TKI Asal Pulau Jawa di Suriname, 2006.
Arsip Nasional Republik Indonesia, Nasionalisme dan Gerakan Mulih nJowo (1947 & 1954).
KITLV Leiden, arsip emigrasi Suriname.
Solopos.com (2022), Warga Soloraya, Emigran Pertama di Suriname yang Mulih nJawa.
Catatan Inside Indonesia dan Wikimedia Commons, dokumentasi komunitas Jawa-Suriname.



KONGSIKAN:



Ads Bottom